TAQWA, Tangga Pencapaian Akhir Puasa

TAQWA, Tangga Pencapaian Akhir Puasa
Percikan Nasehat Asy-Syekh Al-Akbar di bulan Ramadhan

Ramadhan merupakan bulan suci yang menyucikan, meluruhkan berbagai kekotoran jasad dan jiwa. Sejuta keutamaannya membuat orang merasa rugi jika menyia-nyiakan keberadaannya.

Ramadhan dengan berbagai kelebihannya menjadi berharga karena ‘perintah’. Berpuasa menjadi tidak bernilai jika di satu sisi kita ‘mengejar’ keutamaan Ramadhan, namun di sisi lain kita meninggalkan aturan yang telah ditetapkan-Nya.

Seringkali terjadi jika seseorang berpergian jauh (musafir) atau sakit, ia merasa kurang enak (sreg) jika berbuka. Atau merasa kurang afdhal (utama) jika berbuka. Atau merasa berat jika ia mesti membayarnya di lain waktu. Ia merasa rugi jika ‘kehilangan’ puasa ramadhan-nya, tapi ia tidak merasakan kasih sayang Allah telah lenyap dari jiwanya. Ia lebih mengutamakan karunia ramadhan daripada yang menciptakan ramadhan (Allah SwT).

Ramadhan mesti diisi dengan ketundukan dan ketaatan, dan tidak mesti dengan puasa. Apalah arti puasa yang tidak menyambut sifat Rahim Allah kepadanya dengan meninggalkan rukhshah (keringanan) yang Allah berikan kepadanya.

Allah SwT berfirman:

‘Allah menghendaki kemudahan untukmu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu’. (Q.S. Al-Baqarah: 185)

Rasulullah Saw bersabda:


“Sebaik-baik umatku adalah apabila pergi jauh (musafir) dia berbuka puasa dan shalat Qashar”. (HR. Thabrani)


“Sesungguhnya Allah mencintai jika kemurahan-kemurahan-Nya diambil sebagaimana Dia mencintai jika fardhu-fardhu-Nya dikerjakan. Sesungguhnya Allah mengutusku untuk menyampaikan agama yang lurus lagi mudah, yakni agama Ibrahim As”. (HR. Ibnu ‘Asakir)


“Kerjakanlah yang fardhu, terimalah keringanan (kemurahan-Nya), biarkanlah orang-orang, maka sungguh kamu dipelihara dari gangguan mereka”. (HR. Al-Khathib)

Tujuan puasa adalah meraih nilai-nilai ketaqwaan, bukan semata-mata mencari-cari keutamaan Ramadhan dengan meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Bukanlah dengan adanya ramadhan kita membabi buta menggapai gelimang cahayanya, tapi kita tinggalkan esensi kehambaan kita kepada Allah.

Apabila kewajiban suami istri mesti ditinggalkan dengan alasan mengejar keutamaan Ramadhan, berarti ia belum mengerti nilai ketakwaan sesungguhnya. Misalnya, seorang istri yang menolak ajakan suaminya di bulan Ramadhan karena alasan ingin mengkhatamkan Al-Quran adalah adalah sikap yang amat keliru.

Universitas Ramadhan adalah pelatihan individu dan sosial menuju martabat ketakwaan, yakni membentuk SDM yang bersikap Sami’na wa Atho’na, turut perintah dengan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarangnya. Jika Ramadhan ini tidak membentuk sikap ketaqwaan, maka gagallah usaha dan jerih payah perjuangan ramadhan yang dilakukannya.

Konsep ketaqwaan sebagai halte terakhir ramadhan bukanlah hanya dilakukan dalam 1 bulan, namun perjalanannya berkelanjutan. Konsep ketaqwaan adalah konsep harian bukanlah bulan ramadhan saja. Firman Allah SwT: ‘Ayyaamam ma’duudaat’, pada hari-hari yang ditentukan (bukan bulan-bulan yang ditentukan).

Buah ramadhan adalah kesabaran. Namun kesabaran itu tidak bernilai jika tidak didasari nilai ketaqwaan. Banyak umat lain selain Islam menyodorkan doktrin kesabaran, namun kesabarannya tiada arti di sisi Allah karena tidak didasari sikap ‘turut perintah’ terhadap konsep keselamatan.

Rasa lapar juga merupakan bagian penderitaan para Nabi dan Shalihin terdahulu yang manfaatnya teramat besar bagi madrasah pembenahan jiwa. Namun keadaan lapar itu juga tidak bearti di sisi Allah jika tidak berpijak pada sikap ‘turut perintah’. Sikap ini menjadi acuan semua ibadah kepada Allah.

Karena sikap turut perintah-lah yang menyebabkan kita menghadap ke kiblat setiap hari. Sikap inilah yang menyebabkan kita mau mencium hajar aswad, mengelilingi bangunan batu (Ka’bah), berlari-lari (Sa’i), melaparkan diri (berpuasa), dan sebagainya.

Saat seseorang kembali ke fitrah (titik nol), dikhawatirkan ia akan kembali lagi ke koordninat minus jiwa karena ia belum mengenal nilai-nilai ketaqwaan, yakni turut perintah. Jika kita mampu berbuat di bulan Ramadhan, mengapa di bulan lainnya tidak?

“Betapa banyak orang yang berpuasa yang tidak maraih apa-apa melainkan rasa lapar dan dahaga”, Nabi Saw mengingatkan. Karena ia tidak mampu mempersembahkan nilai ketaqwaan sesudah fitrahnya.

Comments (0)